AQIDAH
2.1 Pengertian Aqidah
- Pengertian Akidah secara etimologi atau bahasa.
Akidah berasal dari kata ‘aqada yang berarti menyimpulkan, mengokohkan atau mengikat. Kata Aqidah atau Aqaid (bentuk jama’) yang berarti keyakinan, sesuatu yang dapat dipercaya dalam hati atau dalam ikatan yang kokoh. - Pengertian Akidah Secara Terminologis atau istilah.
Akidah adalah beberapa perkara yang wajib di yakini kebenarannya oleh hati, dapat mendatangkan ketentraman jiwa dan menjadi keyakinan yang tidak tercampur dengan keraguan-keraguan.
Dalam pengertian agama pengertian akidah adalah kandungan rukun iman, yaitu:
- Beriman dengan Allah
- Beriman dengan para malaikat
- Beriman dengan kitab-kitab-Nya
- Beriman dengan para Rasul-Nya
- Beriman dengan hari akhir
- Beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk
Sehingga akidah ini juga bisa diartikan dengan keimanan yang mantap tanpa disertai keraguan di dalam hati seseorang.
2.2 Kedudukan Akidah
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Akidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan. Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya.” (QS. Al Kahfi: 110)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Sungguh, apabila kamu berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila tercampuri dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat memperhatikan perbaikan akidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh para Rasul kepada kaum mereka; menyembah kepada Allah saja dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya.
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
- 3 Hakikat Aqidah
Dalam menjelaskan definisi akidah ada disebut perkataan kepercayaan atau keimanan. Ini disebabkan Iman merupakan unsur utama kepada akidah. Iman ialah perkataan Arab yang berarti percaya yang merangkumi ikrar (pengakuan) dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mempraktikkan dengan perbuatan.
Walaupun iman itu merupakan peranan hati yang tidak diketahui oleh orang lain selain dari dirinya sendiri dan Allah SWT, namun dapat diketahui oleh orang melalui bukti-bukti amalan. Iman tidak pernah berkompromi atau bersekongkol dengan kejahatan dan maksiat. Sebaliknya, iman yang mantap di dada merupakan pendorong ke arah kerja-kerja yang sesuai dan secucuk dengan kehendak dan tuntutan iman itu sendiri.
2.4 Pengertian Tauhid
Tauhid (Arab :توحيد), adalah konsep dalam aqidah islam yang menyatakan keesaan Allah. Tauhid diambil kata : Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu berarti keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah kalimat La Illaha Illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah.
Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga oleh karenanya Islam dikenal sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan. Bahkan gerakan-gerakan pemurnian Islam terkenal dengan nama gerakan muwahhidin ( yang memperjuangkan tauhid ). Dalam perkembangan sejarah kaum muslimin, tauhid itu telah berkembang menjadi nama salah satu cabang ilmu Islam, yaitu ilmu Tauhid yakni ilmu yang mempelajari dan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan keimanan terutama yang menyangkut masalah ke-Maha Esa-an Allah.
Tauhid di bagi menjadi 3 macam yaitu:
- Tauhid Rububiyah
Tauhid Rububiyah adalah keyakinan tentang keesaan Allah taala di dalam perbuatan-perbuatan-Nya. - Tauhid Asma dan Sifat
Tauhid Asma dan Sifat adalah keyakinan tentang keesaan Allah subhanahu wa ta’ala dalam nama dan sifat-Nya yang terdapat dalam Al Quran dan Al Hadits dilengkapi dengan mengimani makna-maknanya dan hukum-hukumnya. - Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam tujuan perbuatan-perbuatan hamba yang dilakukan dalam rangka taqorub dan ibadah seperti berdoa, bernadzar, menyembelih kurban, bertawakal, bertaubat, dan lain-lain.
- 5 Kedudukan Tauhid
Seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat diterimanya amal perbuatan disamping harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
Pada dasarnya manusia telah mengenal Allah meski secara global, maka para Rasul utusan Allah diutus bukan untuk memperkenalkan tentang Allah semata. Namun hakikat dakwah para Rasul adalah untuk menuntut mereka agar beribadah hanya kepada-Nya. Dengan demikian materi dakwah para rasul adalah Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu istilah tauhid tatkala disebutkan secara bebas (tanpa diberi keterangan lain) maka ia lebih mengacu kepada Tauhid Uluhiyah.
Tauhid Adalah Tujuan Penciptaan Manusia, Allah berfirman,
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
maksud dari kata menyembah di ayat ini adalah mentauhidkan Allah dalam segala macam bentuk ibadah sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat dan ahli tafsir. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah saja. Tidaklah mereka diciptakan untuk menghabiskan waktu kalian untuk bermain-main dan bersenang-senang belaka. Sebagaimana firman Allah,
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian.” (Al Anbiya: 16-17).
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun: 115)
Selain itu, tauhid juga adalah tujuan diutusnya beberapa rasul ke muka bumi, dalam hal ini Allah berfirman, “Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36). Makna dari ayat ini adalah bahwa para Rasul mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi terakhir Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wa sallam diutus oleh Allah untuk mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak memepersekutukanNya dengan sesuatu apapun. Maka pertanyaan bagi kita sekarang adalah “Sudahkah kita memenuhi seruan Rasul kita Muhammad shollallahu alaihi wa sallam untuk beribadah hanya kepada Allah semata? ataukah kita bersikap acuh tak acuh terhadap seruan Rasulullah ini?”
Selain itu tauhid merupakan perintah Allah yang paling utama dan pertama, Allah berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa: 36). Dalam ayat ini Allah menyebutkan hal-hal yang Dia perintahkan. Dan hal pertama yang Dia perintahkan adalah untuk menyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Perintah ini didahulukan daripada berbuat baik kepada orang tua serta manusia-manusia pada umumnya. Maka sangatlah aneh jika seseorang bersikap sangat baik terhadap sesama manusia, namun dia banyak menyepelekan hak-hak Tuhannya terutama hak beribadah hanya kepada Allah semata.
2.6 Hakikat Tauhid
Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan Allah kepada setiap hamba-Nya. Namun, sangat disayangkan kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti hakekat dan kedudukan tauhid. Padahal tauhid inilah yang merupakan dasar agama kita yang mulia ini. Oleh karena itu sangatlah urgen bagi kita kaum muslimin untuk mengerti hakekat dan kedudukan tauhid. Hakekat tauhid adalah mengesakan Allah. Bentuk pengesaan ini terbagi menjadi tiga, berikut penjelasannya.
- Mengesakan Allah dalam Rububiyah-Nya
Maksudnya adalah kita meyakini keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah, seperti mencipta dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat dan lainnya yang merupakan kekhususan bagi Allah. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allah “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).“ (Ath-Thur: 35-36)
Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rasulullah mengakui dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Allah,
“Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (Al-Mu’minun: 86-89).
- Mengesakan Allah Dalam Uluhiyah-Nya
Maksudnya adalah kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti shalat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya. Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para Rasul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu “Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5). Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta alam semesta.
- Mengesakan Allah Dalam Nama dan Sifat-Nya
Maksudnya adalah kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dan kita juga meyakini bahwa hanya Allah-lah yang pantas untuk memiliki nama-nama terindah yang disebutkan di Al-Qur’an dan Hadits tersebut (yang dikenal dengan Asmaul Husna). Sebagaimana firman-Nya “Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, hanya bagi Dialah Asmaaul Husna.” (Al-Hasyr: 24)
Seseorang baru dapat dikatakan seorang muslim yang tulen jika telah mengesakan Allah dan tidak berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut di atas. Barangsiapa yang menyekutukan Allah (berbuat syirik) dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan muslim tulen tetapi dia adalah seorang musyrik.
2.7 Pengertian Iman
Iman menurut pengertian sesungguhnya ialah kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari- hari. Jadi iman itu bukanlah semata-mata ucapan lidah, buakn sekedar perbuatan, dan bukan pula hanya merupakan pengetahuan tentang rukun iman
2.8 Kedudukan Iman
Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin
2.9 Hakikat iman
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikitpun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:
1) Diyakini dalam hati
2) Diucapkan dengan lisan
3) Diamalkan dengan anggota tubuh.
Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun Iman yang enam, yaitu:
1) Iman kepada Alloh
2) Iman kepada malaikatNya
3) Iman kepada kitabNya
4) Iman kepada rosulNya
5) Iman kepada Qodho dan Qodar
6) Iman kepada hari akhir
Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.
Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.
Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aqidah, Tauhid, Iman dalam kehidupan umat muslim perlu kita pelajari dan amalkan. Akidah adalah beberapa perkara yang wajib di yakini kebenarannya oleh hati, dapat mendatangkan ketentraman jiwa dan menjadi keyakinan yang tidak tercampur dengan keraguan-keraguan. Tauhid adalah konsep dalam aqidah islam yang menyatakan keesaan Allah.Sedangkan iman menurut pengertian sesungguhnya ialah kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup. Akidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan.Dan seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat diterimanya amal perbuatan disamping harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mampu mewujudkan nnkeislamannya.
3.2 Saran
Sebagai umat muslimnya hendaknya kita mengetahui hakikat dan kedudukanya akidah,tauhid dan iman dalam kehidupan sehari hari agar perbuatan kita tidak melenceng dari semestinya, sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah rosullullah.Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Komentar
Posting Komentar